KicauanRakyat – Dalam diskusi bersama PSSI Pers, Arya Sinulingga membeberkan kondisi sepak bola yang senenarnya terjadi di lapangan.
Ia mengungkapkan bagaimana kondisi sepak bola di Indoensia yang hingga membuat sakit perut di Diskusi Refleksi 94 Tahun PSSI.
Selama diskusi ini dilangsungkan Arya mengatakan sakit perut beberapa kali karena melihat kondisi yang sebenarnya di sepak bola Tanah Air.
Arya Sinulingga saat ini memang tengah menjabat sebagai Ketua Pelaksana (Plt) Asprov Sumatera Utara.
Sebegai pemimpin Asprov ia pun melihat langsung kondisi yang ada di daerah.
Menurutnya, kondisi sepak bola di Tanah Air membuatnya hingga sakit perut.
Pasalnya, daerah merupakan tempat pemain-pemain berkembang dan lahir.
Akan tetapi, kondisi dari akar rumput di daerah-daerah Indonesia memprihatinkan.
“Sumber wasit ada di daerah. Federasi enggak punya wasit. Wasit ada di asprov dan askot,” ucapnya.
Namun, kenyataannya saat seleksi buat timnas U-17 Indonesia dan U-20, tim pelatih pun kesulitan mencari.
Ia membeberkan bagaimana pelatih Indra Sjafri melakukan blusukan untuk mencari pemain-pemain di daerah.
Akan tetapi, saat seleksi hanya beberapa pemain yang lolos dari ratusan yang ikut seleksi.
“Medan adalah penghasil pemain timnas. Saya berkali-kali bilang, kami buat talent scouting dengan Indra Sjafri cari pemain U-20,” kata Arya.
“Yang mendaftar 440 orang, yang lolos hanya satu pemain. Di daerah lain, kita talent scouting untuk U-17, yang daftar 750 orang dan yang lolos nol alias nihil,” jelasnya.
Arya mengatakan bahwa saat ia berada di Sumatera, tentu ia mencoba melihat kondisi di sana.
Ia pun terkejut karena daerah hanya mengandalkan Liga 3 dan Piala Soeratin.
Dengan begitu, untuk klub-klub ini hanya bertanding sebanyak delapan kali.
Padahal dalam standar yang ada, untuk pemain-pemain muda ini minimal memiliki jumlah bermain selama 30 kali.
“Itu pertama kali saya ke Asprov Sumut. Ternyata daerah ini hanya mengandalkan kompetisi program dari federasi yaitu liga 3 dan Soeratin. Enggak ada yang lainnya. Yang ada cuma Jawa Barat dan Jatim,” ucap Arya.
“Artinya lebih dari 30 provinsi lain, enggak ada kompetisi lain juga. Makanya jangan heran klub Liga 1 banyak di Jatim dan Jabar karena jalan semua. Sementara di daerah lain enggak ada kompetisi.”
“Sumut hanya ada 13 klub liga 3. Mereka hanya main 8 kali sudah dapat tiket nasional. Ternyata di daerah enggak ada yang main bola. Jawabannya cuma satu, bikinlah kompetisi.”
“Padahal minimal anak-anak bermain 30 kali pertandingan tiap tahun.”
Menurutnya dengan tidak adanya kompetisi ini berdampak pada insfrastruktur yang ada.
Arya mengatakan bahwa kompetisi yang tak ajalan itu membuat lapangan di daerah lebih banyak digunakan sebagai pasar malam.
Untuk itu, situasi ini membuat PSSI sakit perut karena permasalahannya bukan hanya dikompetisi saja.
Namun, permasalahan soal pelatih yang bersertifikat pun tak banyak di daerah-daerah.
“Kami cek lagi SSB, jumlahnya lebih dari 700. Ternyata yang ada pelatih sertifikat D enggak sampai 100. Sisanya tanpa lisensi,” kata Arya.
“Padahal Filanesia jelas. Lisensi D hanya untuk ukuran bawah, lisensi C untuk U-12, lisensi B itu untuk sepakbola 9×9.”
“Tapi coba cek pelatih Liga 3 lisensinya adalah B. Jadi tak ada pelatih,” tegasnya.
Melihat realitas sepak bola ini, tentu saja membuat Arya merasa sakit perut.
Pasalnya, kondisinya parah, sehingga untuk membenahi sepak bola ini tak akan mudah.
Hal ini karena harus dibenahi dari bawah, sehingga keatasnya pun akan bagus.
“Bagaimana tidak sakit perut saya lihat kenyataan ini,” tutur Arya.
“Apa yang mau dibenahi. Dibenahi itu kalau ada objeknya. Inilah pekerjaan PSSI, memperbanyak wasit, pelatih, dan menggelar kompetisi,” ujarnya.