KicauanRakyat – Ketiga mantan pemain timnas itu adalah Rahmad Darmawan, Nil Maizar, dan Seto Nurdiyantoro.
Dari daerah pemilihan (dapil) mana saja mereka bertarung sebagai calon legislatif (caleg) DPR?
Berapa suara yang sudah mereka raih setelah pencoblosan 14 Februari 2024?
Lantas, berapa pula suara yang harus mereka kumpulkan untuk bisa menjadi anggota DPR?
Bagaimana cara menghitung jumlah suara untuk bisa mendapatkan kursi di Senayan?
Mari kita cek dulu profil keenam eks pemain Skuad Garuda itu.
1. Rahmad Darmawan
Rahmad memperkuat Timnas Indonesia pada 1986-1994.
Mantan pemain Persija Jakarta ini juga pernah mengasuh timnas beberapa kali, termasuk sederet klub ternama Tanah Air.
Saat ini sosok yang akrab disapa RD tersebut berstatus pelatih Barito Putera di Liga 1 2023-2024.
Pria kelahiran Metro, Lampung, 57 tahun lalu itu sudah bergabung ke Partai Demokrat sejak pertengahan Juli 2020.
Walau masih aktif melatih, RD tetap mantap maju sebagai caleg DPR 2024 dari Partai Demokrat untuk dapil Lampung II.
Rahmad berada di urutan keempat daftar caleg Partai Demokrat dapil Lampung II.
Berdasarkan situs resmi KPU hingga Sabtu (17/2/2024) pukul 17.00 WIB, RD sudah mengantongi 9.264 suara.
Dia kalah jauh dari dua rival separtainya di nomor urut 1 dan 2, masing-masing Marwan Cik Asan dengan 100.312 suara dan Edy Irawan Arief 18.531 suara.
2. Nil Maizar
Nil Maizar kembali bertarung ke Senayan sebagai caleg Partai Nasdem dapil Sumatera Barat I.
Pria berusia 54 tahun kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat, ini pernah jadi caleg Pemilu 2014 dan 2019, tapi gagal.
Namun, dia gagal kala bersaing di dapil Sumatera Barat II.
Nil Maizar membela timnas pada era 1990-1994 dan sejumlah klub seperti AC Sparta Praha dan Semen Padang.
Dia juga pernah melatih timnas tahun 2012-2013 dan beberapa klub Liga 1.
Dalam daftar caleg Partai Nasdem, Nil berada di posisi ketujuh.
Hingga Sabtu (17/2/2024) pukul 17.00 WIB, dia baru meraih 5.864 suara.
3. Seto Nurdiyantoro
Pemain Timnas Indonesia era 1999-2001 ini maju sebagai caleg Partai Nasdem untuk dapil Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mantan pelatih PSS Sleman ini menempati urutan kedua daftar caleg Partai Nasdem di Yogyakarta dengan nama Seta Nurdiyantara.
Di atas Seto bertengger eks pentolan PSSI Subardi, yang masih berstatus anggota DPR 2019-2024.
Hingga pukul 17.00 hari ini, Seto baru memiliki 5.238 suara, jauh tertinggal dari Subardi yang telah meraup 39.097 suara.
Cara Hitung Suara
Cara menghitung suara untuk mendapatkan kursi DPR kemungkinan masih menerapkan metode Sainte Lague seperti tahun 2019.
Metode ini diperkenalkan oleh matematikawan Prancis bernama Andre Sainte Lague tahun 1910.
Aturan atau metode itu tertuang dalam Pasal 414 Ayat 1 dan 415 Ayat 2 Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pasal 414 Ayat 1 menyebutkan, setiap partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas (parliamentary threshold) perolehan suara sebesar 4 persen.
Partai yang tak memenuhi ambang batas tak diikutsertakan dalam penentuan kursi di DPR.
Sedangkan untuk rebutan kursi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, semua partai akan dilibatkan.
Selain itu, Pasal 415 Ayat 2 menyatakan, setiap partai yang memenuhi ambang batas akan dibagi dengan bilangan 1 yang diikuti berurutan angka ganjil 3, 5, 7 dan seterusnya.
Sebagai contoh, ada suatu dapil yang memiliki alokasi 6 kursi DPR.
Kemudian, dari hasil pemilu Partai A mendapat 30.000 suara, Partai B mendapat 20.000 suara, Partai C mendapat 15.000 suara, Partai D mendapat 7.000 suara, dan Partai E mendapat 5.000 suara.
Jadi, cara menghitung untuk kursi pertama adalah:
Partai A: 30.000 dibagi 1 = 30.000Partai B: 20.000 dibagi 1 = 20.000Partai C: 15.000 dibagi 1 = 15.000Partai D: 7.000 dibagi 1 = 7.000Partai E: 5.000 dibagi 1 = 5.000
Dari penghitungan itu, suara paling besar adalah Partai A, sehingga berhak mendapat 1 kursi.
Untuk menghitung kursi kedua, Partai A dibagi 3, sedangkan partai-partai lain tetap dibagi 1, sehingga hasilnya:
Partai A: 30.000 dibagi 3 = 10.000Partai B: 20.000 dibagi 1 = 20.000Partai C: 15.000 dibagi 1 = 15.000Partai D: 7.000 dibagi 1 = 7.000Partai E: 5.000 dibagi 1 = 5.000
Partai B mendapat jatah kursi kedua karena paling besar hasil pembagiannya.
Untuk kursi ketiga, Partai A dan B dibagi 3, sedangkan partai lainnya tetap dibagi 1, sehingga hasilnya:
Partai A: 30.000 dibagi 3 = 10.000Partai B: 20.000 dibagi 3 = 6.666Partai C: 15.000 dibagi 1 = 15.000Partai D: 7.000 dibagi 1 = 7.000Partai E: 5.000 dibagi 1 = 5.000
Dari hasil pembagian itu, kursi ketiga diperoleh Partai C.
Kemudian, cara menghitung untuk kursi keempat, Partai A, B, dan C dibagi 3, sedangkan partai lain tetap dibagi 1.
Partai A: 30.000 dibagi 3 = 10.000Partai B: 20.000 dibagi 3 = 6.666Partai C: 15.000 dibagi 3 = 5.000Partai D: 7.000 dibagi 1 = 7.000Partai E: 5.000 dibagi 1 = 5.000
Dari hasil pembagian itu, Partai A kembali meraih satu kursi.
Selanjutnya, cara menghitung untuk kursi kelima, Partai A dibagi 5, Partai B dan C dibagi 3, dan partai lain tetap 1.
Partai A: 10.000 dibagi 5 = 2.000Partai B: 20.000 dibagi 3 = 6.666Partai C: 15.000 dibagi 3 = 5.000Partai D: 7.000 dibagi 1 = 7.000Partai E: 5.000 dibagi 1 = 5.000
Hasilnya, Partai D meraih 1 kursi.
Untuk pembagian kursi keenam, Partai A dibagi 5, Partai B, Partai C, dan Partai D dibagi 3, dan partai lain tetap 1.
Partai A: 10.000 dibagi 5 = 2.000Partai B: 20.000 dibagi 3 = 6.666Partai C: 15.000 dibagi 3 = 5.000Partai D: 7.000 dibagi 3 = 2.333Partai E: 5.000 dibagi 1 = 5.000
Dari hasil pembagian itu, kursi keenam diperoleh Partai B.
Jadi, distribusi kursi DPR untuk contoh dapil tersebut adalah Partai A dan B mendapat masing-masing 2, Partai C dan Partai D masing-masing 1, sedangkan Partai E tak memperoleh kursi.
Dengan demikian, nasib Rahmad Darmawan, Nil Maizar, dan Seto Nurdiyantoro akan bergantung pada total suara yang diperoleh masing-masing serta partainya.
Dari situlah, berdasarkan metode Sainte Lague tadi, caleg yang mendapat suara terbanyak akan lebih dulu menerima hak kursi DPR.